Spark
telling you my depresses
sharing you my restlessness
in the midst of thousand sparks
and suddenly they all flown away into the dark...
come the peaceful feeling
'intimacy of healing'
won't let me even thinking,
will it last forever, darling?
how lucky me, beside you at the night that will always remembered
the night we would like to repeat,
sparkling view we missed....
Just Me
Just Me, Prima Kartika Esti yang mencoba berbagi cerita, puisi dan ragam gaya.
Senin, 02 September 2013
Minggu, 04 Agustus 2013
Kusta_stigma
Ada tulisan menarik dari dr. Arry Pongtiku, project leader leprosy di Papua. Saya share disini, dengan harapan makin banyak orang mengenal kusta.
Ada apa dengan Stigma: lesson learned Kusta
The biggest disease to day is not leprosy or tuberculosis but
rather the feeling of being unwanted, Mother Teresa (1910-1997)
Kusta adalah merupakan
penyakit tertua yang diketahui manusia dan sudah dikenal hampir 2000 tahun
SM.Hal ini diketahui dari catatan
tulisan peninggalan sejarah dari Mesir, Tiongkok dan Mesopotamia, namun tulisan
yang memberikan gambaran kusta yang sebenarnya dicatat di India pada tahun 600
SM.
|
Melalui program Leprosy
Elimination Campaign (LEC) yang gencar dilaksanakan pada era 90-an,
Indonesia telah mencapai eliminasi kusta pada pertengahan tahun 2000 secara
nasional, dimana angka prevalensi sudah berada dibawah 1 kasus per 10,000
penduduk. Akan tetapi sampai saat ini penemuan orang yang terdampak kusta baru
sekitar 17.000 – 18.000 kasus pertahunnya.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2010 menunjukkan masih
diketemukan 17.012 kasus baru
kusta, dimana 1,822 diantaranya
sudah mengalami kecacatan tingkat-2 (cacat yang
terlihat). Umumnya
kecacatan ini terjadi bila pasien tidak dideteksi dan diobati secara dini. Kondisi kecacatan
yang berat dan ketakutan yang berlebihan pada kusta menyebabkan munculnya
stigma dan diskriminasi.Hal tersebut
disebabkan karena kurangnya pengertian dan pengetahuan tentang kusta di
masyarakat sehingga berdampak pada banyaknya anggapan yang keliru tentang
penyakit ini yang akhirnya merugikan pasien dan masyarakat, diantaranya adalah:
- Tidak berobat dini dan datang sudah dalam keadaan cacat
karena selama ini tidak tahu kalau sedang menderita kusta.
- Sudah mengetahui dirinya terkena penyakit
kusta tetapi tidak mau berobat karena malu.
- Sudah tahu dirinya menderita kusta, dan sudah
berobat ke Puskesmas, namun merasa tidak ada kemajuan hingga akhirnya
putus obat (default).
- Telah melakukan pengobatan secara teratur hingga selesai,
namun justru penyakitnya bertambah parah
karena sering timbul reaksi kusta.
- Pengobatan yang lama dan teratur membuat jenuh, disamping
warna kulit menjadi lebih gelap.
- Pengobatan lama dan teratur dianggap tidak ada hasilnya
karena tidak menyembuhkan cacat yang sudah ada.
Stigma sangat mempengaruhi banyak aspek dari orang yang terdampak
kusta, termasuk mobilitas, hubungan interpersonal, pernikahan, pekerjaan,
pemanfaatan waktu luang dan kehadiran pada pertemuan keagamaan dan sosial. Sehingga secara garis besar disimpulkan bahwa stigma akanberdampak pada:
-
Individu
-
Masyarakat
-
Program kesehatan
masyarakat dan intervensinya
Orang yang terdampak
kusta dapat mengalami stres, emosional dan kegelisahan, yang mengarah pada
gangguan psikologis dan menurunnya kualitas hidup. Mereka mengisolasi diri dan
kurang punya motivasi untuk melanjutkan pengobatan.Hal ini akan meningkatkan
risiko untuk terjadinya kecacatan dan komplikasilanjut menjadi lebih besar.
Bagi orang yang terdampak
kusta, biasanya partisipasi sosial, mereka lebih menyedihkan daripada dampak
kusta pada diri mereka sendiri, dimana hal ini akan mengganggu kualitas hidup mereka. Individu
dengan kondisi yang terstigmatisasi dapat mengalami masalah dalam: pernikahan, pekerjaan, hubungan sosial dalam masyarakat dan pertemanan serta
pendidikan. Stigma bertanggungjawab pada semua dampak negatif yang merupakan hasil dari kurangnya
pengetahuan masyarakat dan masih terdapatnya konsep yang salah tentang kusta.
Dampak stigma pada
program kesehatan sangat merugikan, dimana pasien yang mengalami stigma mungkin
akan menyembunyikan atau menyangkal penyakitnya yang berakibat pada keterlambatan pengobatan.
Pada akhirnya kondisi ini akan menyebabkan penyakit semakin berat dan
meningkatkan terjadinya kecacatan dan komplikasi lainnya serta meningkatnya
penyebaran penyakit dalam masyarakat
Refleksi di Papua
Provinsi Papua
terdiri dari 29 kabupaten / kota dimana yang telah menjalankan
program kusta baru 16 kabupaten.
Hal
ini disebabkan karena
geografis yang sulit,terbatasnya sumberdaya manusia serta
transportasi yang
mahal.
Hasil pelaksanaan
program
Pemberantasan Penyakit Kusta tahun
2012, ditemukan 1.348 pasien baru (CDR
46.19/100.000), dengan proporsi MB (kusta basah)70%,
Kasus Anak24% dan cacat tingkat
2 (5%).
Dari 1.348 pasien baru yang
ditemukan, 68% pasien
ditemukan secara pasif
di
Puskesmas/RS,
25% pasien ditemukan
melalui survey aktif dan 8% pasien ditemukan melalui survei kontak.
Sampai akhir
Desember 2012 masih
tercatat 1763 pasien
Kusta yang masih
berobat di Puskesmas maupun
rumah Sakit (PR
6.06/10.000) yang terdiri dari
1.365 pasien MB (kusta
basah) dan 404 pasien
PB
(kusta kering).Keteraturan
berobat memberikan angka kesembuhan yang diperlihatkan kohort RFT (Release From Treatment) :85,1% PB dan
83,2% MB.
Dari pengalaman kami: stigma penyakit kusta kurang dirasakan
di provinsi Papua dibandingkan Papua Barat. Daerah Sorong, Raja Ampat dan
Fak-Fak ,stigma karena sakit kusta cukup besar, tidak jarang mereka dikucilkan
oleh masyarakat.
Daerah pedalaman di
Papua, hampir tidak terlihat adanya stigma karena masyarakat hidup serumah
dengan orang yang mengalami kusta. Orang yang mengalami kusta dan cacat dapat
membawur dalam kehidupan keseharian.
Penderita kusta dengan
latarbelakang pendidikan tinggi dan mempunyai
kedudukan sosial ekonomi lebih baik,tidak menjamin mampu bebas dari stigma . Banyak
di antara mereka lebih stres. Perasaan malu dan takut cukup dominan. Begitupula
pada beberapa kasus HIV/AIDS dengan pendidikan , jabatan dan status lebih baik
diharapkan mampu memahami penyakitnya pada kenyataannya sulit melawan stigma, sehingga tidak jarang
memperparah penyakitnya, menarik diri dan bahkan mereka cepat meninggal. Informasi yang benar dan
terus menerus serta konseling sangat dibutuhkan.
Tidak jarang dijumpai
keluarga juga ikut mengalami stigma. Dalam
perjalanan saya ke Raja Ampat beberapa tahun lalu masyarakat mengatakan
nama-nama keluarga ini ada yang mengalami sakit kusta, sehingga masyarakat juga
enggan mengadakan kontak sosial dengan keluarga tersebut. Saya harus menemui
keluarga yang mengalami stigma pada malam hari hanya menggunakan lampu teplok,
mereka malu dan menangis. “Bapak, Ibu dan
keluaraga disini…. Kusta dapat disembuhkan ini bukan penyakit keturunan”. Jika
mereka berobat bisa sembuh tidak ada lagi nama keluarga yang disebutkan
masyarakat yang harus dihindari ditemui. Ayo mari berobat, berobat berarti
memutuskan rantai penularan penyakit. Treatment
is the best prevention : pengobatan adalah pencegahan yang terbaik. Jika
berobat teratur maka tidak ada keluarga,tetangga dan teman bermain yang akan
terkena kusta.
Stigma juga dapat
berasal dari petugas kesehatan. Masih ada petugas yang enggan menangani penderita
kusta dan HIV/AIDS karena takut tertular
dan pemahaman yang keliru. Masih ada penderita kusta yang ditolak di rumah
sakit. Oleh karena itu dalam Piagam Seruan Nasional Hari Kusta Sedunia 2012,
Menteri Kesehatan RI menghimbau untuk penderita kusta untuk mendapat pelayanan
lebih baik di sarana kesehatan dan tidak ada diskriminasi.”Kami menjamin hak-hak dari orang yang mengalami kusta untuk mendapat
pengobatan di rumah sakit manapun. Kami menghimbau penghentian diskriminasi
terhadap mereka dan keluarganya. Kami mendukung hak mereka untuk hidup bermartabat
sebagai anggota masyarakat dengan akses dan kesempatan yang sama sebagai wujud
pemenuhan hak mereka sebagai warganegara”.
Pekerjaan melayani
orang kusta bukan pekerjaan yang disenangi orang. Dr Marion mengatakan kepada
saya “ It is not popular job for a doctor”.
Kusta tidak sexy seperti program yang lain bagaimana membuat menjadi lebih sexy
dan menarik ? tutur dr Liesbeth. Dan salah satu guru saya dr Mitaart, dengan
mata yang berkaca-kaca dan memeluk saya waktu mengetahui pekerjaan saya bekerja
untuk orang kusta. Pak Otto, salah satu
pejabat kesehatan mengatakan sangat sulit mencari orang yang bekerja untuk
penyakit kusta. Dilain pihak “ Orang
yang bekerja buat kusta biasanya sangat berdedikasi,” kata dr Wim. Petugas
kusta yang telah berhasil menyembuhkan orang kusta, merasa puas dan tidak
jarang dari mereka terus bekerja untuk orang kusta sampai pensiun, sebut
sajalah “Mami Susi di Manokwari, Mama Kawer di Biak, Alm.Hutapea di Kabupaten
Jayapura. Dan beberapa nama lain masih aktif
seperti pak Lukas di Biak,Haji Indra di Nabire, pak Mobilala di Bintuni
dan suster Vera di Hamadi dan masih banyak lainnya.
Stigma menyebabkan
penyakit kusta sulit menjadi sembuh karena penderita mengalami stres. Pada penyakit
ini sering timbul reaksi kusta sebagai penyulit yang dipicu oleh stres. Hal
yang sama di Papua , stigma cukup besar dirasakan pada penderita HIV/AIDS.
Banyak kasus ditemukan sudah terlambat dalam keadaan AIDS, masyarakat masih
malu untuk diketahui status HIV. Karena self
stigma/rendah diri tidak jarang
orang HIV/AIDS ataupun penyakit kusta tidak mau melanjutkan pengobatan dan
menarik diri dari pergaulan masyarakat bahkan keluarga. Ibu Teresa, salah
seorang penerima nobel perdamaian dunia mengatakan “ sakit yang terberat, bukan karena penyakit tuberculosis atau penyakit
kusta tetapi perasaan tidak dibutuhkan”.
Reduksi Stigma
Intervensi untuk
memerangi stigma terhadap kusta menurut sasaran, dapat dibagi 2 kelompok,
yakni:
1.
Sasaran masyarakat: program kusta yang
terintegrasi kedalam pelayanan umum, merubah image kusta, kampanye lewat media dan re-integrasi orang yang
pernah mengalami kusta kedalam masyarakat
2.
Sasaran individu: rehabilitasi (medis,
sosial,ekonomi)dan konseling.
Intervensi konseling
kepada individu yang didiagnosis kusta merupakan sesuatu yang
baru bagi program pengendalian kusta khususnya pada tingkat puskesmas dan
masyarakat. Dengan konseling diharapkan orang yang terdampak kusta (klien) bisa
memahami dan memperjelas pandangan hidupnya sehingga dapat membuat
keputusan yang berarti dan bijak, dengan mempertimbangkan semua pilihan yang
ada. Ini merupakan proses dimana klien belajar membuat keputusan dan memformulasikan
cara baru dalam berpikir dan mengambil sikap berdasarkan informasi yang benar
dan pengalaman positif orang lain. Konseling kepada orang yang pernah mengalami
kusta ini akan dapat meningkatkan pemahaman tentang diri mereka sendiri,
meningkatkan penerimaan diri dan situasi yang mereka alami, menambah kejelasan
tentang berbagai masalah dan kesadaran tentang sesuatu yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah, serta meningkatkan harga
diri dan kepercayaan diri untuk mengatasi masalah.
Pengalaman kami,
kunjungan rumah pada orang yang mengalami kusta atau sakit kronik lainnya TBC,
HIV/AIDS penting dilakukan .Kunjungan rumah yang dilakukan petugas kesehatan
apakah dokter atau perawat bisa membantu untuk menjalin hubungan lebih akrap
dengan pasien, kemudian kita dapat mengobservasi keadaan sosial ekonomi mereka
serta penerimaan dan dukungan keluarga terhadap yang menderita sakit. Selain
itu sering keluarga minta penjelasan supaya mereka dapat membantu sanak saudara
atau anggota keluarganya yang sakit untuk mendapat jalan keluar atau nasehat supaya mereka tidak
tertular dan hidup lebih sehat. Sayangnya kunjungan rumah atau public
health nursing ini sudah sangat jarang dilakukan petugas kesehatan kita.
Referensi:
Pedoman Konseling Kusta, Kementrian Kesehatan RI,Dirjen
P2MPL, 2011.
Subdit Kusta dan
Frambusian. Kementrian Kesehatan RI, Power Point Presentation, 2012
Penulis: Dr.dr.Arry Pongtiku, MHM
Email : arrypongtiku@ymail.com
Sabtu, 01 Juni 2013
Merauke |
Dawn in Okaba |
Going to school |
Bulaka river |
at the swamp |
siluet |
Welbuty's port |
canoing |
in black and white |
wow |
croc swamp |
Penduduk setempat menyambut kami dengan hangat. Tanpa listrik. Kami berteman separuh rembulan. Alhamdulillah, perjalanan yang berat dan lama terbayar dengan senyum sapa mereka.
Pemandangan disana sangat eksotik. Saya mencoba merekam dengan Canon EOS 550D - amatiran - tapi lumayan untuk dinikmati.
Langganan:
Postingan (Atom)